Kartini: Berselimut Galau Bersenjata Curhat




Kartini bersama saudara perempuannya, Nyonya De Booy dan anaknya. Foto saya dapat dari KITLV

Di sebuah blog personal, seorang kawan blogger memberi sebuah apresiasi cerdas atas apa yang saya tuliskan (tulisan saya berjudul; Srikandi Itu Bernama Kartini). Berikut adalah apresiasi yang dituliskannya.
Ngomong-ngomong mengenai Kartini, belakangan muncul pemikiran bahwa Kartini tidak begitu pantas disebut pejuang wanita. Lha wong cuma gara-gara curhat saja atau ungkapan kegalauan saja kok ya bisa keluar sebagai pahlawan wanita. Berbeda dengan Tjut Nya Dien atau Dewi Sartika, mereka benar-benar berjuang dalam artian fisik.
Tapi yah begitulah jaman dan sejarah pemikiran berkembang ya. Yang segala sesuatu bisa digeser-geser dengan sudut pandang baru dan susunan kata-kata.
Wah, ini komentar yang bergizi, batin saya. Pastilah sang apresiator adalah seseorang yang telah dimatangkan oleh sekolah kehidupan. Iya benar, yang menorehkan apresiasi itu adalah Mbak Evi, pengasuh Jurnal EviIndrawanto dotkom. Pengetahuannya luas. Bisa dilihat dari tulisan-tulisannya yang renyah lagi bermanfaat.
Komentar tersebut saya balas dengan beberapa baris kalimat, seperti di bawah ini:
Ada persamaan antara Kartini dan Dewi Sartika, mereka sama-sama lahir di lingkungan priyayi. Bedanya, Dewi Sartika tumbuh di lingkungan priyayi Sunda, dan memiliki masa hidup lebih lama daripada Kartini. Sama-sama hebat, sama-sama berjuang mengenyahkan kebodohan di negeri ini, tapi berbeda cara.
Iya benar Mbak. Ada banyak versi miring tentang Kartini. Tidak ada masalah dengan itu, setidaknya mereka yang mengusung gagasan itu juga memikirkan sosok Kartini, hehe..
Kartini memang galau. Kegalauannya mengantarkan dia untuk curhat. Bedanya, dia memiliki cara curhat yang berbobot. Sangat layak untuk dijadikan inspirasi.
Adapun Cut Nyak Dien, saya juga suka. Sepatutnyalah kita tidak melupakan peninggalan kisah sejarah, bahwa perang dengan ide mengusung kemerdekaan, pertama kalinya lahir di Sumatra (selama bercokolnya penjajah).
Zaman kan memiliki kegalauannya sendiri Mbak. Apalah artinya hidup tanpa galau, haha.. Mungkin yang butuh kita pikirkan bersama adalah bagaimana caranya mengolah rasa galau, dan menjadikannya manis, semanis gula aren.
Selamat 21 April 2013 ya Mbak.
Dari percakapan pendek tersebut, tiba-tiba terbersit ide untuk membuat judul seperti judul artikel ini. Kartini, berselimut galau bersenjata curhat.
Kartini dan Kegalauan
Dilahirkan di tengah keluarga priyayi pada 21 April 1879, Kartini tumbuh sebagai seorang gadis yang memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan (di Europeesche Lagere School). Setidaknya sampai dia berusia 12 tahun. ELS sendiri adalah sekolah yang sengaja didirikan untuk kalangan Eropa, dengan bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda.
Se-priyayi apapun dirinya, tetaplah takluk pada kekuatan adat, yaitu menjalani masa pingit. Mungkin ini adalah sebuah penjara raksasa tersendiri bagi gadis berusia 12 tahun yang sedang haus mengenyam ilmu. Kita tahu, masa pingitan adalah penantian panjang seorang anak gadis, sampai tiba saatnya dikawinkan oleh orang tua. Sementara di luar sana, para lelaki bebas melakukan banyak hal.
Kartini hidup pada era dimana memelihara gundik tidaklah dipandang tercela, apalagi oleh lelaki priyayi dengan sederet gelar kebangsawanannya. Terkungkung adat, terlalu banyak melihat ketidak-adilan pada kaumnya, ketidakberdayaannya dalam membantah klaim bahwa perempuan di lingkungannya hanya terbatas pada masak, macak, dan manak, dan masih banyak lagi, itu semua kegalauan yang dirasakan Kartini muda. Kegalauan tingkat tinggi. Dia ingin berbagi, menyeruak diantara rasa galau, tapi Kartini kesulitan menemukan teman bicara.
Memanfaatkan Curhat Tertulis Sebagai Senjata Gaya Baru
Kartini telah mengenal budaya literasi, bisa berbahasa Belanda, dan memiliki teman-teman Eropa. Syukurlah, Kartini memanfaatkan segala kemampuannya itu untuk menguapkan rasa galau. Dijadikannya curhat tertulis sebagai senjata gaya baru. Beruntung bagi Kartini, dia kini memiliki teman bicara yang sangat mengerti akan remah-remah resah dan mimpinya.
Masa pingit dijadikan oleh Kartini sebagai masa merenung, menempa diri, bersuara dalam keheningan, dan memelihara mimpi tentang cerahnya tanah Hindia (suatu hari nanti).
Dengan curhat lewat surat menyurat, Kartini menjadi semakin mengerti tentang luasnya dunia. Dia semakin paham bahwa di luar sana, ada beberapa bangsa di dunia yang jauh lebih setara, jauh lebih merdeka (atau sedang berjuang ke arah kemerdekaan), jauh lebih menegakkan keadilan, dan jauh lebih bebas mengenyam pendidikan, dibanding dengan tanah tumpah darahnya sendiri.
Lewat kata-kata pula Kartini menjadi semakin paham bahwa emansipasi harus ditegakkan di muka bumi pertiwi. Begitulah, Kartini membuktikan kepada kita bahwa segala pemikiran yang terdokumentasi (tertulis) adalah senjata ampuh untuk melawan apapun. Setidaknya untuk melawan sebuah kata bernama lupa.
Angin segar menerpa wajah Kartini ketika negeri kincir angin menghembuskan ide politik etis (meskipun gagasan tersebut baru disahkan tiga tahun sebelum Kartini meninggal dunia di usianya yang masih sangat muda, 25 tahun).
Kini, setelah 109 tahun kepergian Kartini, setelah dunia pendidikan di Indonesia tak lagi membedakan gender, semoga kita masih bisa menteladani impiannya yang lain. Dialah penggagas revolusi pola pikir tentang betapa pendidikan itu penting.
Bagi kita yang hidup di era jejaring sosial, blog, dan kompasiana, adalah tugas kita untuk menggenggam tongkat estafet Kartini, untuk kemudian mengabarkan kepada dunia akan pentingnya pendidikan. Baik pendidikan rakyatnya, baik pula bangsanya.

Rz hakim

Follow On Twitter